Halaman

Minggu, 01 Agustus 2010

Globalisasi sepakbola

“Saya selalu merasa bahwa Inggris adalah negeri terbaik dalam Sepakbola,” tulis sastrawan Nick Hornby dalam bukunya Fever Pitch “Saya dibesarkan dalam budaya Sepakbola Inggris yang kental, sampai akhirnya televisi menunjukkan bahwa kami bukan yang terbaik di dunia ini,” hari itu adalah musim panas 1970, saat Piala Dunia ke 9 berlangsung di Meksiko dan televisi untuk pertama kalinya mampu menyiarkan hajatan terbesar dunia ini ke lebih banyak penjuru bumi, menyeberangi laut dan segala batasannya.

Bagi Nick, nama-nama seperti Bobby Moore, Jack dan Bobby Charlton, Geoff Hurst dll adalah pemain terbaik dunia yang pernah ia lihat “Mereka tak ada tandingannya,” ujarnya beberapa hari menjelang Inggris mempertahankan gelar di negeri sombrero. Namun televisi mematahkan segala pendapat Nick tersebut “Saya melihat bagaimana orang Brasil mampu menendang dengan tumitnya, menimang bola layaknya mainan, menendang sembari berputar dan melengkungkan bola semaunya,” hari itu Nick tersadar bahwa legenda negerinya bukanlah segalanya dan Inggris bukanlah negeri terbaik di Sepakbola.

Tanah Britania adalah tempat dimana Sepakbola kembali dihidupkan. Setelah permainan berusia ribuan tahun ini dimainkan di penjuru dunia dengan caranya masing-masing, orang Britania membakukan segala aturan dan keteraturan terhadap permainan ini. Dari sana para pelaut Inggris membawa permainan ini ke penjuru dan pelosok dunia. Dari Buenos Aires sampai Lisabon, dari Cape Town sampai Nusantara dan begitulah manusia modern mengenal Britania terutama Inggris sebagai “penemu” Sepakbola.

Inggris adalah pencetak rekor tertua bagi segala hal yang berhubungan dengan Sepakbola. Mereka memulai Liga mereka di tahun 1871, mendirikan federasinya di tahun yang sama, membedakan aturan Sepakbola modern dengan cikal bakalnya yang kini disebut Rugby adalah contoh lain dari nama besar Inggris di permainan ini. Secara rutin merekapun melakukan “kampanye” ke berbagai belahan dunia untuk memperkenalkan permainan ini pada dunia.

Menjadi pelopor membuat Inggris merasa merekalah negeri terbaik di Sepakbola. Mereka menolak ikut 3 edisi pertama Piala Dunia “Para juara di 3 turnamen pertama tidak sah, karena kami tidak berpartisipasi disana,”ujar Stanley Matthews sesaat setelah memenangkan trofi di 1966. Ia pun menepikan fakta kekalahan dari Amerika Serikat di 1950 dan kekalahan telak lainnya dari Hongaria menjelang kejuaraan tahun yang sama sebagai bukti bahwa negerinya sebenarnya bukanlah kekuatan utama di dunia.

“Tapi dunia tetap harus berterima kasih pada Inggris,” jelas Alex Bellos kolumnis The Guardian yang juga penulis buku Futebol, The Brazilian Way of Life. Ia pun menceritakan bagaimana Charles Miller membawa 2 bola kulit yang ia bagikan pada teman-temannya dan para budaknya. Inilah cikal bakal Sepakbola di negeri Samba. Ia lalu juga menjelaskan bagaimana para pelaut yang merapat di seluruh pelabuhan di Eropa, Amerika Selatan, Asia atau bahkan Afrika telah memberi inspirasi menendang si kulit bundar pada masanya.

Di era modern, nyaris tak ada belahan dunia yang tak tersentuh oleh Sepakbola. Jikapun kawasan tersebut tidak memilih permainan ini sebagai olahraga nomor satu mereka, nyatanya di setiap gelaran Piala Dunia nyaris tidak ada negara di muka bumi yang tidak tersentuh oleh demamnya. Bahkan India atau Pakistan yang masing-masing memilih kriket sebagai permainan favorit, tetap juga terjangkiti wabah Sepakbola di musim Piala Dunia.

“Dimainkannya Sepakbola di semakin banyak negara di dunia, berdampak pada pemerataan kekuatan di setiap ajang,” komentar Michel Platini sesaat setelah melihat bagaimana Korea Selatan nyaris menaklukkan Uruguay setelah mengurung mereka selama kurang lebih 55 menit. Komentar ini sekaligus pujian terhadap Korea Selatan yang di saat Uruguay menjadi Piala Dunia di 1930 masih menjadi negara yang sama sekali tidak mengenal bagaimana cara menendang si kulit bulat.

Bagi saya, 3 gelaran Piala Dunia terakhir telah menunjukkan perimbangan kekuatan yang semakin merata. Bagaimana Asia berhasil menembus semifinal bersama Turki yang praktis bukan kekuatan utama di Eropa. Ghana yang stabil untuk terus berada di papan tengah ajang sekelas Piala Dunia. Tahun ini perimbangan ini diperkuat dengan tersingkirnya juara bertahan dan mantan juara Eropa secara bersamaan. Tentu saja dengan tidak melupakan keberhasilan Jepang yang berhasil lolos ke babak 16 besar dan hanya kalah adu penalti dari paraguay.

Perimbangan yang semakin merata akan berakibat pada meratanya kualitas pertandingan yang bisa disaksikan melalui televisi. Akibatnya, pemirsa tak perlu sekedar menunggu big match tim-tim yang secara tradisi dianggap kuat seperti Brazil, Belanda, Jerman dll. Tapi juga melibatkan tim-tim “kelas 2” seperti yang kita lihat pada aksi Ghana-Amerika Serikat atau Kamerun-Denmark.

Siapkah “pasar” alias para penggemar Sepakbola dunia menemukan tim seperti Ghana di final Piala Dunia? Atau jika mau berandai-andai final nanti akan mempertemukan Ghana vs Paraguay? Saya rasa yang terpenting adalah bagaimana FIFA dan para ahli pemasaran Sepakbola bisa menyampaikan pesan, bahwa siapapun yang masuk final……kualitas yang ditampilkan akan hebat juga, karena mereka memang telah memberi bukti berhasil berada disana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar