Halaman

Jumat, 30 Juli 2010

Jangan Rusak Mimpi anak ini....

Jakarta, 20 April 2010. Selasa siang yang mungkin tak akan pernah saya lupakan. Di panggung, di hadapan sejumlah wartawan, duduk empat tokoh dalam acara jumpa pers Manchester United Premier Cup yang digelar Nike.

Sepulang dari acara itu, hingga saat ini saya duduk menghadap komputer dan jari-jemari menekan tombol menyusul huruf-huruf di monitor, rasa dongkol tak kunjung hilang mengingat tanya-jawab yang terjadi Selasa lalu.

“Apa pekerjaan orangtua kamu” begitu tanya Sekretaris Jenderal PSSi, Nugraha Besoes, pada Rudi Setiawan. Remaja ini adalah satu satu pemain yang beruntung mencicipi kesempatan bermain di Manchester dua tahun lalu mewakili Indonesia (Villa 2000).

Dengan pelan, saya mendengar Rudi menjawab, “Wiraswasta.” Tak puas, sang sekjen meminta jawaban lebih lanjut. “Iya, wiraswastanya ngapain?”
Kembali suara pelan terdengar, “Pedagang, Pak.”

“Dagang apa?” Tanya pria berkacamata ini. “Jual sayuran.”

Kata-kata Rudi tak seperti yang saya khawatirkan. Tidak ada nada malu, walau tak ingin membanggakan pekerjaan sang ayah. “See,” ucap petinggi PSSI dengan segera dalam bahasa Inggris. “Pemain masa depan kini ini bapaknya seorang penjual sayur.”

Saya mencoba mengerti tujuan Kang Nug, demikian ia biasa disapa. Sulit bagi PSSI memberikan prestasi melalui tim nasional kepada masyarakat bila gizi dan kebutuhsan anak-anak Indonesia tidak seperti mereka yang ada di Eropa.

“Kebanyakan makan sayur juga enggak baik.” Masih terngiang kata-kata itu keluar dari mulut Nugraha. Sungguh saya terluka dengan sikap sang sekjen.

“Kamu minum susu enggal? Berapa gelas sehari?” Pertanyaan Nugraha dijawan pelan, “Minum, Pak. Segelas.”

Kembali inferensi si orang tua mengejutkan. “Mana cukup itu untuk menjadi pemain sepak bola. Minum dua liter sehari!” Lagi-lagi saya merasakan intonasi yang menusuk.

Pembaca, izinkan saya menempatkan diri berada di atas panggung sebagai seorang Rudi Setiawan dan menjadi bulan-bulanan pengurus PSSI.


“Memang benar ayahku seorang tukang sayur. Tapi, apakah salah kalau aku bermimpi menjadi pesepak bola profesional meski hanya anak seorang tukang sayur?

Bukan salahku bila prestasi timnas Indonesia tak menggembirakan. Aku ingin seperti Lionel Messi, yang divonis menderita karena gangguan hormon pertumbuhan bada ketika berusia 11 tahun tapi bakatku dilihat Barcelona.

Keluarga kami tergolong miskin. Bapakku hanya pekerja pabrik, ibuku menyediakan tenaganya untuk bersih-bersih di rumah orang kaya. Aku sudah pasrah ketika biaya perawatan untuk tumbuh normal mencapai 900 dolar Amerika setiap bulan.

Pak Nugraha, aku tidak merasa dipermalukan, tersinggung, atau patah arang atas ucapan-ucapan bapak. Tapi, entahlah kalau hal yang sama bapak lontarkan kepada rekan-rekan aku yang lain yang juga punya mimpi menjadi pemain sepak bola dan ingin mengharumkan bangsa ini.”



Pembaca, jujur saya tak mengenal Rudi. Hanya pernah membaca tentang dirinya serta melihat rekamannya bermain di acara jumpa per situ. Tapi muncul keingintahuan tentang bakat remaja berusia 17 tahun itu.

Saya menanyakannya kepada Ganesha Putra, petinggi Villa 2000, klub yang dibela Rudi ketika mengikuti MUPC dua tahun lalu. “Rudi sangat berbakat. Penampilannya di Manchester termasuk menonjol, terutama ketika melawan wakil Spanyol, Real Madrid.” Ganesha tak bohong.

Rasa penasaran saya sampai pada perbincangan dengan Ernest Rodriguez, Sports Marketing Manager Nike. Dari Kuala Lumpur, warga Singapura ini mengenang kembali kejadian tahun 2008 itu. “Ya, saya ingat pujian dari orang-orang di sekitar saya. Mereka bilang Rudi mampu membuat perbedaan di tim Indonesia. Ketika di Malaysia pun orang dibuatnya terkagum-kagum,” ujar Ernest via telepon.

Salah satu pujian muncul dari mulut Mark Dempsey, pelatih Man. United junior saat itu. Mantan gelandang United dan Sheffield United itu secara khusus menitip pesan kepada kubu Indonesia.“Jaga anak ini. Ia bisa bermain di semua tim peserta kejuaraan MUPC,” begitu pujian Dempsey terhadap anak si tukang sayur. Sayang memang, tubuh Rudi yang tergolong pendek (159 cm) dianggap sebagai penghalang. Termasuk menjadi bagian dari tim junior kita yang dikirim berguru ke Uruguay.

“Saya ingat ada pengurus klub West Ham United yang datang kepada kami. Menurutnya, bila tubuh Rudi lebih tinggi lagi, ia akan diajak bergabung ke West Ham junior,” lanjut Ernest. Pikiran saya melayang ke masa kecil bintang seperti Rivaldo dan Romario. Diceritakan, Rivaldo tumbuh di gubuk reyot dan kemudian mendapat gaji dari Barcelona sekitar 7 juta dolar AS per musim.

Apakah tubuh Lionel Messi yang 169 cm tergolong tinggi? Namun Barcelona mencari cara agar talenta brilian Messi mendapat dukungan melalui gaya bermain tim. Gizi memang penting untuk menjadi pesepak bola brilian. Tapi, saya jadi ingin tahu berapa liter susu yang dulu diminum Maradona dan Messi setiap hari? #

Tidak ada komentar:

Posting Komentar